Senin, 04 Januari 2010

Mengatasi Kemarahan

Oleh: Ven. Thubten Chodron


Apa yang dapat kita perbuat bila sedang marah? Buddha menggambarkan beragam teknik dalam mengembangkan kesabaran.

Banyak dari teknik ini terdapat pada buku A Guide to the Bodhisattva’s Way of Life oleh Guru Besar India, Shantideva. Bab keenam adalah salah satu bab terpanjang di bku itu, dan mengajarkan cara menghindari kemarahan dan meningkatkan kesabaran.

Pertama, kita melatih teknik untuk menghadapi dengan kemarahan. Lalu kita mempraktikkannya dalam meditasi. Ini menjadikan kita akrab dan percaya diri dengan cara-cara baru menghadapi rasa marah dalam diri. Dengan mempraktikkan teknik ini dalam lingkungan damai – duduk di bantal meditasi – kita membangun daftar cara-cara alternative dalam situasi dimana kita biasanya marah.

Melatih teknik ini saat kita tidak marah adalah penting. Layaknya belajar mengemudi mobil. Dalam pelajaran pertama, kita tidak langsung ke jalan raya besar karena kita tidak siap dan tidak ahli. Kita berkendara di lapangan parker dan berusaha membiasakan diri dengan persneling gigi, rem, dan pegangan kemudi. Dengan pertama kali mempraktikkan dalam lingkungan aman, kita dapat mengemudikan mobil inidalam situasi yang berbahaya di masa yang akan datang.
Sama halnya, kita mempraktikkan kesabaran ketika kita tidak berada dalam situasi konflik. Kita melakukan hal ini dengan mengingat pengalaman sebelumnya – situasi dimana kita meledak dalam kemarahan, atau suatu peristiwa yang mengakibatkan kita memusuhi orang lain atau sakit hati ketika kita mengingatnya. Lalu kita menerapkan teknik ini: kita memutar ulang video dari suatu peristiwa kemarahan kita, tetapi kita berpikir dengan cara yang berbeda. Dengan melihat sudut pandang baru, kemarahan berkurang. Lalu kita dapat membayangkan diri kita bersikap secara berbeda pada orang lain.

Hal ini kita lakukan tidak saja membantu kita mencairkan sakit hati dan dendam masa lalu, melainkan pula mengakrabkan kita pada teknik yang dapat kita terapkan pada situasi yang sama di masa mendatang. Lalu kapan pun situasi kemarahan muncul dalam diri kita, kita dapat memilih teknik-teknik ini dan menerapkannya.

Terkadang, sulit sekali mencairkan kemarahan kita meskipun dalam suasana penuh kedamaian, oleh karena kita terjebak dalam emosi dan pengertian yang berbeda di masa lalu. Namun demikian, bila kita secara bertahap belajar menaklukkan kemarahan, saat kita berada dalam dunia kerja, sekolah atau keluarga, kita memiliki pelung untuk mengatasi kemarahan kita bilamana muncul. Dengan latihan berkelanjutan, kita bahkan dapat mencegah munculnya kemarahan.

Menaklukkan kemarahan adalah proses perlahan dan stabil. Dengan mendengarkan satu atau dua teknik malam ini, jangan berharap kemarahanmu akan hilang besok. Bereaksi dalam kemarahan adalah kebiasaan buruk yang mendarah daging, dan seperti halnya semua kebiasaan buruk, cukup makan waktu untuk menghilangkannya. Kita harus berusaha mengembangkan kesabaran.

Lagi pula, kita harus belajar sabar terhadap diri sendiri. Terkadang kita merasa marah pada diri sendiri karena kita marah pada orang lain. “Betapa buruknya saya. Saya mengerikan. Saya telah hadir dalam ceramah Buddhis selama satu bulan dan tetap saja saya marah. Apa yang salah dalam diriku?” Berpikir seperti ini hanyalah menambah masalah. Kita tidaklah “bersalah, buruk, tak ada harapan” karena kita marah. Kita hanyalah kurang terlatih dalam kesabaran. Kesabaran adalah kualitas yang dapat kita bangun dengan latihan dan waktu.

Dalam rangka meningkatkan kesabaran, toleransi dan kebijaksanaan kita – kualitas yang membuat batin kita jernih – sangatlah berguna untuk belajar berkomunikasi secara jelas dengan orang lain. Dewasa ini, Universitas, program pendidikan bisnis dan dewasa mengadakan kursus pelajaran komunikasi, pelatihan ketegasan dan mengatasi konflik. Teknik Buddhis membantu mendamaikan kemarahan di dalam diri, kursus-kursus ini mengajarkan teknik mendengar dan ucapan yang efektif.

Kebaikan Musuh

Semakin sering kita berlatih, semakin kita menyadari bahwa orang-orang yang menyakiti kita sesungguhnya sangat baik hati. Pertama, dengan menyakiti kita, mereka membuat karma negarif kita matang. Karma negative tertentu kita telah hilang. Kedua, dengan menyakiti kita, mereka memaksa kita menganalisa perbuatan kita dan membuat keputusan tentang bagaimana kita akan berperilaku di masa mendatang. Jadi, orang yang menyakiti kita membantu kita bertumbuh. Mereka lebih baik hati dari pada teman-teman kita.

Sesungguhnya, musuh lebih baik hati pada kita dari pada Buddha. Ini hampir tidak terbayangkan. “Apa maksud Anda bahwa musuhku lebih baik hati padaku dari pada Buddha? Buddha memiliki welas asih sempurna bagi setiap orang. Buddha tidak menakiti lalat! Bagaimana mungkin musuhku yang seperti …….lebih baik hati dari pada Buddha?”

Begini penjelasannya: untuk menjadi Buddha, kita perlu melatih kesabaran. Ini adalah salah satu sikap baik dan merupakan praktik penting dari para bodhisattva. Tidak mungkin menjadi Buddha tanpa kita bersabar dan toleransi.

Dengan siapa kita mempraktikkan kesabaran? Tidak dengan Buddha, karena Buddha tidak membuat kita marah. Tidak dengan teman-teman kita, karena mereka bersikap manis pada kita. Siapa yang memberikan kesempatan kepada kita untuk mempraktikkan kesabaran? Siapa yang begitu baik hati membantu kita mengembangkan kualitas baik dari kesabaran? Hanya orang yang menyakiti kita. Hanya musuh kita. Jadi musuh lebih baik hati kepada kita dari pada Buddha.

Guru saya membuatnya sangat jelas untukku. Suatu ketika, saya bertindak selaku wakil direktur sebuah grup. Direktur dan saya kurang cocok. Itulah mengapa saya membaca bab keenam dari buku A Guide to the Bodhisattva’s Way of Life. Seharian, saya marah betul pada orang ini, dan malam harinya saya kembali ke kamar dan berpikir, “Gimana neh! Apa saran Shantideva dalam situasi ini?”

Akhirnya, saya melepaskan pekerjaan itu. Saya pergi ke Nepal dan menemui guru saya, Zopa Rinpoche. Kita duduk di teras rumah Rinpoche, melihat pegunungan Himalaya, sangat damai dan tenang. Lalu Rinpoche bertanya padaku, “Siapa yang lebih baik hati padamu, Sam atau Buddha?”

Pikirku, “Anda pasti guyon! Tidak dapat diperbandingkan. Buddha jelas-jelas baik hati. Tetapi Sam adalah masalah lain.” Jadi saya menjawab, “tentu Buddha.”

Rinpoche menatapku seolah-olah berkata, “Kamu belum ketemu pointnya!” dan berkata, “Sam memberikanmu kesempatan mempraktikkan kesabaran. Buddha tidak. Kamu tidak dapat mempraktikkan kesabaran dengan Buddha. Oleh karena itu, Sam lebih baik hati padamu dari pada Buddha.”

Saya duduk termenung, coba menyerap yang dikatakan oleh Rinpoche. Perlahan, dengan berlalunya tahun demi tahun, ini meresap. Sangatlah menarik melihat dirimu berubah ketika kamu berpikir demikian.

Jadi inilah salah satu cara lain berpikir saat kita marah: konsentrasikan pada kebaikan hati musuh, dan berpikir kesempatan untuk mempraktikkan kesabaran. Manfaatkan situasi buruk sebagai tantangan untuk membantu dirimu bertumbuh secara spiritual.

(diterjemahkan oleh amri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar