Senin, 04 Januari 2010

SANGHA AGUNG INDONESIA



The Boan An yang ditahbiskan menjadi Bhante di Burma dengan nama Ashin Jinarakkhita, pada tanggal 17 Januari 1955 kembali ke tanah air dengan pesawat udara mendarat di Bandar Udara Kemayoran Jakarta. Ia merupakan Putra Bangsa Indonesia pertama yang menjadi seorang Bhante sejak berakhirnya Dinasti Majapahit, Bhante Ashin Jinarakkhita memimpin kebangkitan kembali agama Buddha ke seluruh Indonesia.

Tahun 1956 disebut sebagai 2500 tahun Buddha Jayanti, menandai kebangkitan kembali agama Buddha di bumi Nusantaram karena itu Bhante Ashin Jinarakkhita dinyatakan sebagai Pelopor Kebangkitan agama Buddha secara nasional di Indonesia.

Pada tahun 1959 setelah jumlah Bhante mencapai lima orang, oleh Bhante Ashin Jinarakkhita dibentuk Sangha Sutji Indonesia yang terdiri dari bhante-bhante dan samanera yang ditahbiskan menurut mazhab Therevada.

Pada tahun 1963 umat Buddha di Indonesia manyambut genap sepuluh tahun pengabdian (Dasa vassa) Bhante Ashin Jinarakkhita, pada tahun yang sama pula Sangha Sutji Indonesia diubah menjadi Maha Sangha Indonesia yang beranggotakan dari Bhante Theravada dan Bhante Mahayana.

Dalam upaya mengembangkan agama Buddha di Indonesia, Bhante Ashin Jinarakkhita menekankan kepada anggota bhante Sangha agar menggunakan pendekatan secara luwes. Ajaran Theravada disebarluaskan, tetapi ajaran Mahayana tidak ditinggalkan. Dengan memberikan keleluasaan sepenuhnya kepada umat untuk menentukan sesuai minatnya masing-masing cocok dengan pendekatan yang mana, apakah Theravada aau Mahayana.

Maksud dari pendekatan tersebut agar umat Buddha di Indonesia tidak enjadi fanatik terhadap satu pendekatan saja, dengan menganggap pendekatan lainnya adalah salah atau sesat. Pendekatan seperti ini, belakangan di barat dikenal sebagai Buddhayana atau Ekayana.

Dipandu dengan pemahaman Buddhayana, Maha Sangha Indonesia mendorong umat Buddha agar terus menggali warisan ajaran Buddha yang sudah tertanam di Bumi Indonesia. Karena bagaimanapun, secara kultural, ajaran yang telah pernah membawa jaman keemasan pada masa Sriwijaya dan Majapahit itulah yang akan lebih bisa diterima pleh bangsanya sendiri.

Pada tahun 1974, Maha Sangha Indonesia dilebur menjadi Sangha Agung Indonesia. Pada masa tahun 70-an ini merupakan periode gerakan sektarian merebak, umat Buddha semakin terkotak-kotak, sehingga MNS. Ashin Jinarakkhita merasa perlu untuk menekankan lagi konsep Buddhayana yang merupakan Wahan Buddha yang memuat didalamnya Wahana Kecil (Theravada), Wahana Besar (Mahayana), maupun Wahana Intan (Vajrayana).

Dengan harapan umat Buddha dapat belajar Theravada tanpa perlu mencemooh Mahayana. Atau mendalami Mahayana namun juga mengetahui apa yang diajarkan Theravada. Sehingga umat Buddha mendapat kesempatan luas mengenal secara umum ajaran Theravada, Mahayana, maupun Vajrayana. Dengan demikian, umat Buddha diharapkan dapat terbuka wawasannya dan tidak terjebak dalam kepicikan sektarian.

Didalam menjalankan kebijaksanaan Sangha Agung Indonesia tetap konsekuen dan konsisten untuk memasyarakatkan ajaran Buddha dengan mengadakan pendekatan kultural tanpa meninggalkan ciri khas kebuddhayaan Indonesia dalam memajukan kehidupan beragama Buddha di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar